arsip.bhantaran.com – Fenomena wabah virus corona benar-benar memberikan sebuah tanda untuk penghuni bumi masa mendatang.
Tanda berupa sejarah bahwa ada kejadian luar biasa yang tertulis pada awal abad ke-21.
Yakni ketika makhluk sebesar 0,125 mikrometer mampu membunuh lebih dari 247 ribu orang (worldmeter, per 3 Mei 2020) di seluruh dunia.
Di sisi lain, dampak yang ditimbulkan oleh virus corona tidak cuma jumlah kehilangan nyawa.
Namun, juga kemacetan pusar perekonomian, kelangkaan sumber pangan, hingga perang kepentingan.
Generasi yang akan datang tentu bisa berkaca pada pandemi ini sebagai sebuah pembelajaran.
Akan tetapi, generasi masa kini perlu menengok ke belakang. Yaitu ketika penguasa ketiga Kerajaan Kediri, Prabu Joyoboyo (1135-1157), telah meramalkan kedatangan sebuah wabah, ratusan tahun silam.
Cerita mengenai ramalan Joyoboyo coba dibabar oleh Ketua Lokantara (Lembaga Olah Kajian Nusantara), Dr. Purwadi.
“Kali ilang kedhunge pasar ilang kumandhange (Sungai kehilangan kedalaman lubuknya, pasar kehilangan gema,” tutur Purwadi.
“Begitu ramalan Prabu Joyoboyo dalam membaca owah gingsire jaman (perubahan zaman).”
“Sang Prabu adalah raja Kraton Kediri yang waskitho ngerti sakdurunge winarah (cerdas nan bijaksana, tahu sebelum fenomena terjadi),” jelas alumnus Fakultas Filsafat UGM ini.
Menurut Purwadi, nasihat pujangga Kerajaan Kediri adalah hal yang membuat Joyoboyo mengerti perubahan zaman.
Sebab, Joyoboyo menjadikan nasihat para pujangga sebagai arah tujuan (pandam pandom panduming dumudi).
Para pujangga itu adalah Empu Sedah, Empu Panuluh, dan Empu Darmojo.
“Empu Sedah mengajarkan ilmu sangkan paraning dumadi (Sang Pencipta sebagai tempat kembali),” kata Purwadi.
“Empu Panuluh memberi kawruh joyo kawijayan guno kasantikan (ilmu bertempur yang digdaya). “
“Empu Darmojo memberi wedharan tata praja (perumusan kebijakan),” sambung dosen UNY ini.
Tak hanya tiga pujangga itu, Joyoboyo juga belajar dari guru agama yang didatangkan sang kakek, Sinuwun Prabu Kamesworo, dari Mesir. Dia adalah Haji Syekh Syamsujen yang datang pada 1105.
Lebih lanjut, menurut Purwadi, banyak pelajaran yang diberikan Haji Syekh Syamsujen kepada Joyoboyo.
“Haji Syekh Syamsujen mengajari loro lopo topo broto (tirakat dan menahan hawa nafsu),” tutur Purwadi.
“Sang Prabu biasa topo kungkum (ritual berendam), topo pendhem (tidak membanggakan kebaikan), topo gantung, topo ngrowot (tak makan nasi), topo mutih (puasa mutih).”
“Kadang-kadang juga menjalankan lelaku mirip sato kewan. Yakni topo ngalong (bertapa seperti kelelawar), topo ngidang (menjauhi keramaian), topo ngiwak (tak makan daging).”
Kemudian, pada bulan Suro (Muharram), kata Purwadi, Joyoboyo tak lupa lelaku nggenioro mbanyuoro (tidak terbakar nafsu dan tidak mudah terprovokasi).
Selanjutnya, pada bulan ruwah (Sya’ban) Joyoboyo melakukan topo ngrawe. Yaitu berusaha menyenangkan orang banyak.
“Berkat didikan Haji Syekh Syamsujen itu pula, Prabu Joyoboyo menjadi raja yang putus ing reh saniskoro (tak punya segala pamrih),” ujar Purwadi.
“Sang Prabu tahu unggah ungguhing boso, kasar alusing roso, jugar genturing topo (keselarasan hidup lahir-batin, jasmani-rohani, dan material-spiritual).”
“Poro kawulo (rakyat) yang tinggal di kutho ngakutho (kota), deso ngadeso (desa), gunung ngagunung (gunung) sangat hormat dan berbakti,” lanjutnya.
Kepribadian Prabu Joyoboyo sungguh paripurna. Hal itu menuntunnya memberi ramalan mengenai jenis-jenis zaman (jangka jangkane jaman).
Kata Purwadi, ada empat zaman yang terjadi berdasarkan ramalan Joyoboyo. Empat zaman itu adalah, Kartoyugo, Partoyugo, Kaliyugo, Kalisengoro.
Dari keempat jaman tersebut, Kalisengoro-lah yang dinilai mencerminkan kondisi saat ini. Yakni ketika virus corona menginfeksi seluruh dunia.
“Pada jaman Kalisengoro, banyak sekali berita hoaks berseliweran. Orang berbohong dengan media sosial,” ucap Purwadi.
“Informasi dan teknologi jadi alat tipu-tipu. Handphone, internet, email, radio, televisi digunakan untuk saling serang. Ujung ujungnya banyak korban.”
“Apalagi saat ada bencana dunia. Wabah penyakit menular. Lantas diolah untuk membuat gaduh dan kisruh,” beber pria kelahiran 1971 tersebut.
Ketika masyarakat panik, Purwadi bertutur, para penipu mengambil keuntungan. Mereka adalah pembohong yang mengail di air keruh.
“Oleh karena itu, Prabu Joyoboyo bersabda dengan bijaksana,” ujar Purwadi.
“Sing bener ketenger, sing salah seleh (Siapa berbuat benar dia akan terbukti, siapa berbuat salah dia akan lengser. Becik ketitik, olo ketoro (yang baik terlihat, yang buruk tampak).”
“Sopo kang mbibiti olo, wahyune bakal sirno (yang menanam keburukan, kebahagiannya akan sirna).”
“Inilah ajaran Prabu Joyoboyo. Agar kita selalu eling lan waspodo (ingat dan waspada),” pungkasnya.
Sumber : KAGAMA.CO