arsip.bhantaran.com — Pada 19-20 Mei 2021 ini, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) akan melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk calon anggota Dewan Pengawas RRI Periode 2021-2026. Bagi RRI dan bahkan Bangsa Indonesia, peristiwa ini sangat penting. Sesuai dengan peraturan perundangan terutama PP No. 12 Tahun 2005, Dewan Pengawas LPP RRI mempunyai peran yang sangat strategis.
Dewan Pengawas dalam hal ini melaksanakan tugas, di antaranya menetapkan kebijakan umum, rencana induk, kebijakan penyiaran, rencana kerja dan anggaran tahunan, kebijakan pengembangan kelembagaan dan sumber daya, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut sesuai dengan arah dan tujuan penyiaran (pasal 7 poin a). Poin b pasal yang sama menyatakan bahwa tugas Dewan Pengawas adalah mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran serta independensi dan netralitas siaran.
Di luar itu, masih ada tugas lain, yakni memilih dewan direksi dan memberi tugas-tugas kepada dewan direksi.
Dewan Pengawas yang dipilih Komisi I DPR RI karenanya akan menentukan “corak” LPP RRI ke depan. Apakah keberadaan RRI sebagai lembaga penyaran publik akan semakin kuat atau justru mengalami kemunduran akan sangat ditentukan oleh Dewan Pengawas yang akan datang. Oleh karena itu, Komisi I DPR RI sangat diharapkan memilih anggota Dewan Pengawas RRI periode 2021-2026 yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan juga integritas. Mereka juga diharapkan independen kecuali mengikatkan diri pada warga negara (citizen) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di sinilah, penelusuran atas rekam jejak keseluruhan calon-calon anggota Dewan Pengawas LPP RRI sangat dibutuhkan. Penelurusan itu semata untuk memastikan bahwa anggota Dewan Pengawas RRI yang nantinya dipilih benar-benar mempunyai kriteria-kriteria tadi.
Di luar harapan-harapan di atas, ada satu persoalan yang layak mendapatkan perhatian dan permenungan, yakni soal prinsip keterwakilan dalam Dewan Pengawas RRI.
Berdasarkan pasal 8 ayat (2) PP No. 12 Tahun 2005 disebutkan bahwa Dewan Pengawas terdiri atas unsur RRI, masyarakat, dan pemerintah. Sayangnya, dalam PP tersebut, tidak disebutkan jumlah untuk masing-masing unsur. Oleh karena RRI merupakan lembaga penyiaran publik, maka seharusnya unsur publik lebih banyak. Unsur RRI dan Pemerintah mungkin cukup satu saja, dan selebihnya unsur masyarakat. Namun, di sinilah, pokok soal itu mengemuka.
Dari pengumuman yang beredar, secara kebetulan, unsur masyarakat jauh lebih banyak dibandingkan dengan unsur RRI dan pemerintah. Ada delapan calon Dewan Pengawas yang berasal dari unsur masyarakat, tiga orang dari unsur pemerintah, dan dua orang dari unsur RRI. Namun, pertanyaannya adalah apakah calon-calon anggota tersebut benar-benar mewakili unsur masing-masing?
Untuk menjelaskan hal tersebut, kita harus berpaling pada konsep representasi. Dalam ilmu sosial, konsep representasi mempunyai dua pengertian (Noviani, 2020). Pengertian pertama merujuk pada tindakan untuk mendiskripsikan, menggambarkan maupun menghadirkan melaluideskripsi ataupun imajinasi.
Pengertian kedua merujuk pada usaha untuk menyimbolisasi, menggantikan atau mewakili. Jika ada ungkapan bahwa “saya adalah representasi” generasi milineal maka yang dimaksudkan dalam pengertian ini yang kedua, sama halnya dengan pernyataan: DPR RI adalah representasi rakyat.
Dengan pengertian demikian, maka dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan pasal 8 ayat (2) PP No. 12 Tahun 2005 adalah dalam pengertian kedua. Artinya, unsur yang dimaksudkan adalah “mewakili” atau menggantikan atau menyimbolisasi sehingga dapat dibaca maksud keberadaannya.
Jika keberadaan setiap unsur dimaksudkan untuk mewakili, maka harapannya bahwa orang yang ditunjuk mewakili tersebut akan menyuarakan aspirasi dan kepentingan yang diwakili. Jika ia mewakili unsur pemerintah, misalnya, maka ia harus pula menyuarakan apa yang menjadi aspirasi pemerintah. Demikian juga, jika orang tersebut mewakili unsur RRI atau masyarakat maka ia harus benar-benar menyuarakan apa yang menjadi aspirasi dan kepentingan RRI dan masyarakat.
Masalahnya, dalam prinsip perwakilan, orang-orang yang ditunjuk sebagai “wakil” sekalipun seringkali tidak mampu menyuarakan “suara” orang-orang yang diwakili karena beragam alasan.
Meskipun demikian, dalam konteks lembaga politik, perwakilan itu mendapatkan legitimasinya melalui pemilihan umum. Ini berbeda dengan calon-calon Dewan Pengawas di mana setiap calon anggota melakukan klaim atas kelompok yang coba mereka wakili.
Dengan demikian, para calon anggota itu sebenarnya tidak memiliki mandat untuk mencalonkan diri berdasarkan unsur yang hendak mereka wakili. Mereka semata-mata mendaftar menurut “jalur” seperti jalur pemerintah, masyarakat, dan RRI, dan bukan prinsip perwakilan.
Sebagai contoh, calon yang berasal dari unsur pemerintah tidak semuanya berasal dari pemerintah. Sebaliknya, dari tiga orang, dua di antaranya adalah pegawai aktif RRI. Sebaliknya, yang berasal dari unsur RRI justru bukan dari pegawai RRI aktif (PNS/PBPNS). Ini jelas membingungkan dari segi konsep dan semangat kejiwaan pasal 8 ayat (2) PP No. 2005.
Oleh karena itu, kita berharap bahwa Komisi I DPR RI akan mengembalikan roh pasal 8 ayat (2) dengan memilih calon anggota Dewan Pengawas yang tidak semata berdasarkan jalur, tapi berdasarkan konsep perwakilan sebagaimana telah diuraikan panjang lebar di atas.
Pengalaman pemilihan Dewan Pengawas periode 2016-2021 kiranya layak dijadikan pelajaran. Dari 5 anggota Dewan Pengawas, tiga di antaranya berasal dari pegawai RRI aktif meskipun ketika mendaftar dari jalur-jalur yang berbeda. Ini jelas bukan konsep representasi atau perwakilan yang diharapkan dari pasal 8 ayat (2). Namun, jikapun tetap didasarkan unsur, maka seyogianya anggota Dewan Pengawas itu haruslah dari unsur yang sebenarnya. Jika dari pemerintah, maka ia haruslah pegawai pemerintah, pun dengan RRI dan masyarakat. Dengan begitu, setidak-tidaknya, kita tidak begitu mencederai semangat perwakilan.
Penulis :
Puji Rianto, SIP, MA
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi UII, Yogyakarta