arsip.bhantaran.com — Kelor merupakan salah satu jenis tanaman yang memberikan banyak manfaat. Penelitian mengenai daun kelor ini bisa juga dilakukan dengan pendekatan Etnobotani. Dalam masyarakat Wolio kelor juga berkaitan dengan budaya yang mereka miliki.
Kaudhawa atau nama lain kelor di masyarakat Wolio yang berasal dari kau yang artinya kayu dan dhawa yang artinya perekat atau dapat disimpulkan adalah lem kertas. Kelor oleh masyarakat Wolio banyak dimanfaatkan untuk keseharian dari mulai sebagai sayuran dan pakan ternak, obat obatan, karbit alami, hingga kegunaan lainnya.
“Salah satu contohnya dalam ungkapan masyarakat Wolio yaitu Kelor itu sayurnya orang banyak (Kaudhwa yitu tawana kauna mia bhari) artinya kelor merupakan sayur yang umum di orang Walio,” terang Dr. Wa Ode Winesty Sofyani, M.Hum. dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo, dalam paparannya pada Kajian Antropologi Indonesia Senin (27/9).
Kelor juga berkaitan erat dengan budaya di dalam masyarakat Wolio. Tak hanya dalam ungkapan, Kelor ini juga menjadi pameo, teka teki, dan tabu yang berupa larangan dan pantangan di masyarakat Wolio.
Dalam paparan tanggapan, Prof. Dr. Purnomo, M.S., dosen Fakultas Biologi UGM, menjelaskan untuk melihat manfat kelor diperlukan banyak pendekatan keilmuan seperti Farmasi yang dapat mengidentifikasi kandungan kelor serta manfaatnya.
“Klasifikasi morfologi kelor menurut etnis merupakan hal yang menarik. Dari sini kita dapat melihat terdapat kelor perempuan dan laki laki yang juga dikaitkan dengan rasa enak dan tidaknya kelor,” ungkap Purnomo dalam tanggapannya.
Dalam variannya menurut etnis, terdapat 4 varian kelor yaitu kelor liar yang memiliki rasa enak dan tidak enak serta kelor budi daya yang memiliki rasa enak dan tidak enak.
“Apakah kelor yang enak dimakan dan tidak enak maka tidak dimakan,” papar Purnomo. Ia menambahkan bahwa ini dapat menjadi pemantik untuk keberlanjutan penelitian bagaimana manfaat dari tiap tiap jenis kelor yang ada.
Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A., M.Phil., Guru Besar Antropologi FIB UGM sekaligus sebagai penggagas dan koordinator acara, memberikan tanggapan serupa bahwa perlu ada perluasan dimensi dari penelitian etnobotani dengan etnosains terkait kelor sehingga dapat memaksimalkan manfaat kelor.
Resource : ugm.ac.id