Subejo, S.P., M.Sc., Ph.D. Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UGM
arsip.bhantaran.com – Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat strategis.
Sektor ini memberi fungsi yang luar biasa di bidang sumber pangan, lapangan pekerjaan, pakan ternak dan energi.
Menurut sensus penduduk oleh BPS tahun 2013, tercatat pekerjaan di sektor pertanian di Indonesia sudah menghidupi 26 juta penduduk.
Dalam hal pemenuhan sumber pangan, sektor pertanian harus memenuhi kebutuhan makanan 267 juta penduduk.
Namun, di masa pandemi Covid-19 ini, sektor pertanian dikhawatirkan tidak bisa memasok bahan pangan secara optimal.
Hal tersebut dibabar oleh dosen Fakultas Pertanian UGM, Subejo, S.P., M.Sc., Ph.D., dalam diskusi daring bertajuk Tangguhkah Pertanian Indonesia dalam Menghadapi Covid-19?
Diskusi tersebut digelar oleh Klinik Agromina Bahari (KAB) Fakultas Pertanian UGM pada Sabtu (25/04/2020).
Pembatasan mobilisasi selama pandemi Covid-19, kata Subejo, membuat kegiatan distribusi produk pertanian terhambat.
Sebagian bahan pangan pokok kemudian mengalami penurunan harga yang drastis.
Ada pula bahan pangan pokok yang naik harganya, karena langka di pasaran.
Gonjang ganjing Indonesia yang mengimpor bahan pangan pokok dalam jumlah besar juga menjadi implikasi tersendiri.
Indonesia tidak lagi bisa bergantung pada negara-negara tujuan impornya. Thailand, Amerika Serikat (AS), Vietnam, Australia, Kanada, dan Tiongkok, mengalami persoalan yang sama akibat Covid-19.
Di samping itu, para petani masih belum mendapat perhatian terkait protokol kesehatan yang harus mereka ikuti.
Padahal petani adalah garda terdepan ketahanan pangan di Indonesia, yang masih harus bekerja di masa krisis Covid-19 ini.
Subejo kemudian mengusulkan lima langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan pertanian.
Pertama, kata Subejo, pemerintah harus mengupayakan adanya bantuan teknologi pertanian.
Teknologi tersebut berupa alat yang memudahkan petani untuk bekerja tanpa harus menghadapi risiko tertular virus.
“Dengan mesin, para pertani bisa bekerja tanpa harus menghadapi risiko tertular virus,” ungkap dosen Prodi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian itu.
Kedua, memberikan subsidi input pertanian, seperti bibit, pupuk, dan lain-lain. Hal ini harus dipersiapkan dengan baik, supaya petani lebih terbantu dalam bekerja.
Ketiga, adanya subsidi harga yang diberikan kepada para petani atau produsen bahan baku pangan.
Dalam hal ini, pemerintah mengupayakan agar produsen bahan baku pertanian bisa menjual produknya dengan harga normal.
Keempat, pembebasan pajak bagi petani-petani kecil. Pembebasan pajak tanah perlu dipertimbangkan sebagai insentif bagi petani.
“Seperti yang kita ketahui mereka berusaha memenuhi kebutuhan keluarga di tengah krisis, di samping itu mereka masih harus didorong untuk menjaga ketahanan pangan nasional,” tutur pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah ini.
Kelima, asuransi pertanian. Petani punya risiko gagal panen, misalnya karena banjir, serangan hama, dan lain-lain, sehingga mereka perlu diberikan asuransi agar tetap bertahan hidup.
“Saya membayangkan, bila petani punya kesempatan untuk mendapatkan itu semua, tentunya petani lebih semangat bekerja,” jelasnya.
“Kemudian bersedia melakukan segala aktivitas termasuk bekerja sesuai dengan protokol kesehatan, karena mereka merasa aman,” ujar Subejo.
Tidak bisa dipungkiri, kata dia, meningkatkan ketahanan pangan merupakan tugas yang berat.
Tetapi, pemerintah bisa mendorong kelompok-kelompok kecil untuk melakukan direct marketing.
“Artinya mempertemukan para produsen bahan baku pangan dengan konsumen melalui media yang dapat menjangkau semua kalangan, mulai dari SMS hingga aplikasi online. Setelah terjadi transaksi, barulah kemudian produk kebutuhan akan dikirim,” paparnya.
Subejo menyambut baik adanya kebijakan relaksasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi petani.
Menurut informasi yang dia dapatkan, anggaran total KUR sekitar 14 Triliun. Bagi petani di bidang tanaman pangan, pemerintah menggelontorkan 3,8 Triliun, perkebunan 4,2 Triliun, holtikultura 1,6 Triliun, peternakan 2,6 Triliun, dan penggilingan padi 1,9 Triliun.
Artinya, kata Subejo, bila petani dalam 2-3 bulan tidak bisa berproduksi optimal, para petani bisa menunda pembayaran angsurannya.
“Ini merupakan salah satu kebijakan yang bisa membantu beban produsen pangan, termasuk petani, peternak, UMKM, dan sebagainya,” tutur Subejo.(red)
Resource : KAGAMA.CO