YOGYAKARTA, arsip.bhantaran.com – Isu mengenai politik dinasti akan selalu ada setiap menjelang penyelenggaraan (Pemilu (Pemilihan Umum) atau Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).
Seperti halnya Pilkada 2020 yang menurut rencana digelar Desember nanti.
Bagi Nuraini Hilir, M.Si, itu adalah hal yang lumrah.
Entah mendapatkan reaksi negatif atau positif di hadapan publik, sah-sah saja.
Namun, bagi alumnus Fakultas Filsafat UGM angkatan 1991 ini, proses politik dinasti memang belum pernah diatur dalam UUD maupun UU Pilkada.
Pandangan ini disampaikan Nuraini dalam webinar Alumni Sharing yang diadakan KAGAMA Filsafat, Sabtu (5/9/2020) lalu.
“Tentu saja kalau bicara UUD memang kita tidak menemukan istilah politik dinasti. Bahkan secara tegas di Pasal 28 menyatakan pemberian peluang yang sama kepada setiap WN,” ujar Nuraini.
“Artinya, produk hukum kita tidak mengklasifikasi berdasarkan kelas sosial dalam konteks pertarungan politik,” terangnya.
Atas dasar ini, Nuraini yakin bahwa ketika ada kerabat incumbent (petahana) yang mencalonkan diri, maka dia ada yang sedang melakukan pelanggaran hukum atau pelanggaran filosofis. Baik itu dihadapan hukum maupun negara.
Tenaga Ahli Madya Staf Kepresidenan ini menilai, posisi seseorang sebagai bagian dari keluarga kepala daerah incumbent adalah sebuah fakta yang tidak bisa ditolak.
Kata dia, itu adalah keistimewaan yang dimiliki kelompok tertentu.
Sebuah modal sosial yang tidak dimiliki oleh calon lain yang tak punya hubungan dengan incumbent.
Tinggal calon tersebut bisa memanfaatkan dengan baik atau tidak relasi yang dia miliki dengan incumbent.
“Selama seseorang dapat mengolah modal sosial untuk kemajuan daerah dan kebaikan, itu bukan persoalan. Dalam tanda kutip ‘kapitalisasi’,” tutur Nuraini.
“Nah yang menjadi persoalan, adalah ketika modal sosial ini ditempatkan dalam koridor yang selaras dengan komitmen kemanusiaan, komitmen politik, dan komitmen kebangsaan.”
“Hal yang dia emban menjadi seorang politisi. Terutama ketika dia terpilih nanti,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurut Nuraini, seorang calon yang punya relasi keluarga dengan incumbent belum tentu terpilih.
Sebab, belum tentu dia punya kematangan sosial, kematangan berpolitik, dan komitmen untuk tidak melukai para pemilihnya.
Nuraini menggarisbawahi, semua calon punya peluang sama dengan modal sosial yang mereka punya.
Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Surabaya periode 2014-2018, Prof. Warsono, melihat bahwa politik dinasti bak opium yang memberi efek candu.
Dalam hal ini, sang aktor politik ingin melibatkan seluruh keluarga dan kerabat dijadikan pejabat.
Praktik dinasti politik dipandang Warsono punya menawarkan tiga hal yang luar biasa.
“Tiga hal itu adalah kewenangan, status sosial, dan ekonomi,” ucap Warsono, alumnus Fakultas Filsafat UGM angkatan 1979.
Menurut Warsono, tiga hal di atas dipraktikkan secara berjenjang saat seseorang masuk sebagai pejabat.
Ketika menjadi pejabat, politisi akan membuat produk kebijakan yang menjadikan dia punya kewenangan untuk menguasai aspek sosial dan ekonomi.
Sesuatu hal yang berkebalikan di Amerika Serikat, ketika seseorang baru menguasai aspek perekonomian, sosial, dan pada akhirnya di ranah kewenangan.
Sebuah adagium klasik dari Lord Acton yaitu power tends to corrupt diyakini Warsono bakal terjadi dalam dinasti politik.
“Kekuasaan yang terlalu lama cenderung korup. Ketika kekuasaan mengumpul (dalam satu relasi), maka ada peluang korup karena (anggotanya) cenderung melindungi,” tutur Warsono.
Karena itu, Warsono tidak sepakat dengan politik dinasti di Indonesia yang merupakan negara demokrasi.
Sebab, ada beberapa hal yang tidak bisa diwariskan seorang kepala daerah incumbent kepada sang anak, misalnya. Hal itu seperti karisma dan keberhasilan.
“Keberhasilan seorang pemimpin tidak bisa diwariskan. Bapaknya bijak anaknya belum tentu,” jelas Warsono, pria kelahiran Boyolali 60 tahun lalu. (bn)
Sumber : KAGAMA.CO