YOGYAKARTA, arsip.bhantaran.com — Koordinasi antar Kementerian/Lembaga (K/L) di Ruang Avadhana, kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, hari Sabtu (4/6) telah membahas Pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Candi Borobudur. Salah satu topik yang dibahas dalam rapat tersebut adalah pengaturan kunjungan wisatawan yang akan naik ke bangunan Candi Borobudur.
Terkait hal ini disepakati untuk dilakukan pengaturan kunjungan terbatas dengan mempertimbangkan aspek konservasi Candi Borobudur, dan rapat telah mengambil keputusan diperlukan pembatasan kunjungan wisatawan yang akan naik ke bangunan Candi Borobudur dengan menerapkan sistem kuota.
Kuota bagi wisatawan yang bisa naik ke bangunan Candi Borobudur sejumlah 1.200 orang perhari. Jumlah tersebut setara dengan 10-15 persen rata-rata perhari jumlah wisatawan ke Candi Borobudur sebelum masa pandemi. Hal ini diputuskan untuk menjaga dan melestarikan bangunan Candi.
Keputusan itupun diikuti dengan perubahan tarif masuk Borobudur. Untuk kepentingan konservasi agar tercapai jumlah maksimal 1.200 orang per hari maka harga tiket mengalami dampak kebijakan. Atas kebijakan kuota tersebut, diputuskan kebijakan harga khusus untuk Wisatawan Nusantara sebesar 750 ribu rupiah dan Wisatawan Mancanegara $100, dan untuk pelajar (grup Study Tour sekolah / bukan individual) adalah 5 ribu rupiah. Kebijakan kuota dengan tiket khusus inipun akan diterapkan melalui sistem reservasi online.
Pengamat pariwisata sekaligus Kepala Pusat Studi Pariwisata UGM, Dr. Muhammad Yusuf, mengatakan perkembangan amenitas dan aksesibilitas menuju dan di dalam kawasan Borobudur berjalan sangat cepat. Bahkan, menurutnya, terlalu cepat sehingga banyak unsur masyarakat yang tidak siap dengan perkembangan yang terlalu cepat tersebut.
Studi yang dilakukan Puspar UGM menunjukkan bahwa hampir semua inisiatif pembangunan di kawasan Borobudur adalah inisiatif Pemerintah Pusat sehingga sangat sedikit atau bahkan “tanpa” pelibatan masyarakat sekitar, termasuk para penggerak wisata.
“Menjadi cukup wajar bila kemudian masyarakat tidak terlalu paham arah pengembangan di kawasan Borobudur, dan bahkan bingung harus melakukan apa,” ujarnya, di Puspar UGM, Senin (6/6).
Dia mengakui angka kunjungan wisatawan domestik ke Borobudur sangat banyak dan cenderung naik. Bahkan saking banyaknya terlihat melebihi daya dukung khususnya Candi Borobudur.
Data memperlihatkan jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2018 sebanyak 3.855.285 terdiri dari wisatawan domestik 3.663.054 dan wisatawan mancanegara 192.231. Sementara di tahun 2019 jumlah ini mengalami peningkatan menjadi 5.016.839 terdiri dari wisatawan domestik 4.774.757 dan wisatawan mancanegara 242.082.
Oleh karena itu, berdasar kajian yang telah dilakukan selama ini dan untuk mendukung konservasi maka seharusnya jumlah kunjungan ke candi tidak lebih dari 300 pengunjung per hari. Sedangkan keputusan 1.200 pengunjung per hari adalah untuk kawasan candi bukan untuk menaiki candi.
“Karena banyak studi telah menunjukkan kelebihan pengunjung selama ini telah membuat kerusakan di candi, seperti permukaan candi yang terus menurun, dan batu candi yang mulai rusak,” katanya.
Sebagai pengamat, Yusuf menyayangkan jika kebijakan mengenai konservasi dan pariwisata di Candi Borobudur ini sering kali tidak integratif. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidak jelasan pemangku kepentingan yang terlibat.
Siapa bertanggung jawab terhadap apa tidak ada kejelasan. Oleh karena itu, menurutnya, kejelasan kelembagaan ini perlu diperkuat sehingga setiap kebijakan yang diambil menjadi hal yang disepakati bersama dan menjadikan implementasi di lapangan menjadi lebih optimal.
Untuk itu, sambungnya, kebijakan tarif masuk candi seharusnya ditentukan berdasarkan kajian yang mendalam dengan melibatkan seluruh stakholders yang terkait. Seperti halnya kebijakan pembangunan di sekitar kawasan candi.
“Saya melihat penentuan tarif ini juga tanpa melakukan studi yang komprehensif sehingga banyak pihak yang tidak berkenan,” ucapnya.
Ia berpandangan selain menerapkan kebijakan menaikkan tarif masuk, pemerintah dan pihak-pihak terkait mestinya berusaha memperluas dan memperbanyak atraksi di kawasan Kecamatan Borobudur. Dengan upaya semacam itu tentunya para wisatawan yang berkunjung nantinya tidak hanya fokus pada candi.
“Bahkan mereka bisa diarahkan untuk bisa mengunjungi beragam desa wisata dan atraksi wisata di sekitar kawasan candi, sehingga wisatawan tidak terkonsentrasi hanya pada satu titik saja,” urainya.
Yusuf meyakini dengan kebijakan ini tentu akan berdampak cukup banyak bagi masyarakat sekitar candi. Oleh karena itu, ia menyampaikan saran agar masyarakat lokal dan penggiat pariwisata untuk antisipatif terhadap setiap kebijakan pemerintah (pemerintah pusat maupun daerah).
Dengan tarif baru yang ditetapkan, iapun mengkhawatirkan jumlah kunjungan yang kemungkinan menurun drastis. Hal ini tentu berdampak kepada penghasilan para penggiat pariwisata, seperti tourguide, penjual makanan dan souvenir, homestay dan lain-lain.
“Situasi ini membuktikan bahwa perencanaan pengembangan wisata candi Borobudur tidak melalui kajian yang baik. Kalau pun ada kajian nampaknya hasil kajian tersebut tidak dijadikan sebagai pedoman dalam pengambilan kebijakan,” paparnya.
Resource : ugm ac.id