LAMONGAN, arsip.bhantaran.com – Kabupaten Lamongan berkomitmen untuk terus melakukan pelestarian budaya, sejarah dan adat istiadat yang sudah ada sejak zaman sebelumnya kepada masyarakat Lamongan melalui literasi budaya.
Menurut Bupati Lamongan Yuhronur Efendi yang berkesempatan untuk membuka kegiatan sarasehan sejarah Gajah Mada, Selasa (4/7) di Pendopo Lokatantra, budaya merupakan jati diri dan kekayakan lokal yang harus dipahami dan dijadikan spirit oleh masyarakat dalam merekontruksi kejayaan yang sudah ada sejak masa lampau.
“Literasi budaya khususnya tentang sejarah yang berkembang di Lamongan sangat penting untuk literasi dimasa depan. Menghadapi peradapan dunia yang terus berubah tentu akan merubah pula kehidupan sosial, jadi literasi budaya harus dijadikan pedoman karena didalamnya lekat jati diri dan spirit kejayaan yang sudah ada sejak dulu,” tutur Bupati yang akrab disapa Pak Yes dalam kegiatan yang mengusung tema “Kebangkitan Nusantara Dari Bumi Lamongan”.
Pada tanggap sabda yang disampaikan, Pak Yes mengungkapkan bahwa Pemerintah Kabupaten Lamongan akan terus memelihara budaya, situs, dan adat istiadat yang ada di Lamongan. Selain bertujuan melestarikan peninggalan bersejarah juga diintegrasikan dengan pariwisata. Keberadaan situs-situs di Lamongan mulai situs Hindu, Budha, dan Islam mampu mengundang 4,7 juta wisatawan pada 2022 lalu.
Mengisi kegiatan yang diusung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lamongan, Arkeolog dari Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menerangkan bahwa Kabupaten Lamongan tepatnya pada wilayah selatan merupakan pusat peradaban Hindu Budha sehingga banyak sekali ditemukan prasasti, candi, arca, dan situs lainnya. Dari situs bersejarah yang ditemukan secara tidak utuh tersebut melahirkan cerita lisan dan tradisi lisan yang melekat atau biasa disebut dengan cerita rakyat, salah satunya di situs Gunung Ratu yang terdapat pada Dusun Cancing Kecamatan Ngimbang terdapat cerita rakyat tentang Dewi Andongsari.
“Kabupaten Lamongan utamanya pada wilayah selatan merupakan pusat peradaban pada era Hindu Budha, tentu banyak sekali situs bersejarah disana. Penemuan situs yang tidak utuh sulit diidentifikasikan sehingga dari situ lahir cerita lisan atau cerita rakyat yang melekat dengan situs disana,” terang Dwi Cahyono.
Dalam buku yang disusun oleh Paguyuban Wilwatikta yang merupakan gabungan dari 12 kelompok penghayat budaya telah menuliskan pakem cerita rakyat dari Kabupaten wilayah sekatan yakni “Dewi Andongsari Ratu Wilwatikta”, didalamnya berisikan isi prasasti sukamerta 1296 M dan Balawi 1305 M diketemukan persamaan isi yang mana di dalamnya sama-sama menjelaskan keberadaan 4 putri Raja Kertanegara yang diperistri Raden Wijaya. Sedangkan pada prasasti Gajah Mada 1351 M dan Caitya (makam Singosari) yang dibuat oleh Raja Gajah Mada sebagai penghormatan kepada Raja Kertanegara ini mampu menjawab bahwa Gajah Mada adalah anak Raden Wijaya dan Ratu Tribuananeswari serta cucu Kertanegara karena bisa menorehkan titahnya dalam prasasti dan membangun candi makam untuk kakeknya.
Pada pakem cerita rakyat yang dipaparkan juga menerangkan bahwa Gajah Mada saat tua kembali ke pangkuan ibunya sampai akhir hayat dan dimakamkan di Gunung Ratu, Penemuan hamparan bata merah di sebelah timur Gunung Ratu menjadi bukti kebenaran cerita tersebut, (kom/bn)