YOGYAKARTA, arsip.bhantaran.com – Keinginan presiden memastikan Pemilu serentak 2024 dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil, dinilai sebagai sebuah niatan yang baik. Dalam posisi, peran dan kapasitasnya sebagai Kepala Negara, niatan baik tersebut perlu mendapat apresiasi.
Pengamat Komunikasi Politik UGM, Nyarwi Ahmad, Ph.D., menilai pemilu yang demikian tentunya akan memberikan manfaat besar bagi masyarakat khususnya bagi mereka yang memiliki hak pilih. Pemilu yang demikian juga didambakan oleh parpol-parpol yang menjadi kontestan pemilu dan para kandidat yang dicalonkan parpol-parpol mulai dari Capres, Cawapres, Caleg dan para kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada.
“Niatan baik presiden ini mestinya dapat dikawal dan dijalankan secara maksimal oleh lembaga-lembaga negara yang menjadi penyelenggara pemilu, seperti KPU dan juga lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu,”ujarnya di Fisipol UGM, Rabu (31/5).
Bagi Nyarwi keinginan Presiden Jokowi agar pesta demokrasi 2024 mendatang dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil adalah sebagai hal yang wajar. Komitmen Presiden Jokowi untuk menghormati dan menerima pilihan rakyat menunjukkan bahwa Presiden Jokowi masih memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga kelangsungan sistem demokrasi di Indonesia.
Banyak pihak tahu komitmen semacam ini dalam beberapa tahun terakhir diragukan oleh banyak kalangan. Oleh karena itu, Presiden Jokowi perlu membuktikan dirinya tidak hanya memiliki komitmen kuat pada dua hal itu saja.
Sebagai Kepala Negara, Presiden Jokowi pada dasarnya memiliki sumber daya yang memadai dan dapat digunakan untuk mendorong peningkatan kualitas demokrasi Indonesia agar lebih bisa naik kelas. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir jebakan-jebakan yang mengarah pada regresi demokrasi terjadi di berbagai belahan negara demokrasi.
Arus regresi demokrasi ini dinilai juga bisa terjadi di Indonesia. Tentu banyak pihak yang berharap Presiden Jokowi tidak hanya mampu mengawal bahwa proses demokrasi electoral jelang 2024 berlangsung secara jujur dan adil semata. Tetapi dirinya juga diharapkan dapat menggunakan sumber daya kekuasaan yang dimilikinya untuk menyelamatkan Indonesia dari jebakan-jebakan regresi demokrasi semacam itu.
“Jika hal ini mampu diwujudkan hal ini tentu akan menjadi legacy luar biasa dari Presiden Jokowi di periode kedua masa jabatannya,” ucap Nyarwi.
Sekali lagi, kata Nyarwi, adalah wajar jika Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara menginginkan agar pemilu mendatang dapat berjalan dengan baik dan aman tanpa mewariskan residu-residu polarisasi atau konflik sosial di masyarakat dan semua peserta pemilu dapat berkompetisi secara free dan fair. Bahkan, dalam beberapa pernyataan presiden berharap agar pemilih mendapat informasi dan berita yang berkualitas, tidak menjadi korban hoaxs, artificial intelligence dan black campaign yang membahayakan.
“Saya kira itu perlu diapresiasi. Sangat tepat juga jika Presiden menyatakan akan selalu menjaga netralitas TNI Polri dan ASN. Presiden tentu tidak ingin meninggalkan legacy yang tidak baik di akhir masa jabatannya. Kita tahu, Indonesia merupakan sebuah negara-bangsa yang sangat majemuk. Polarisasi ekstrem dan konflik sosial horizontal yang berbasis isu-isu politik identitas, termasuk agama, akan merugikan kita semua,” jelasnya
Nyarwi berpendapat polarisasi politik, ideologi dan electoral selalu pontensial muncul menjelang pemilu. Polarisasi juga berkembang dalam berbagai dimensi dan skala.
Karena itu, para staf dan pembantu presiden perlu membantu Presiden Jokowi untuk merumuskan ukuran-ukuran atau parameter-parameter yang tepat khususnya terkait tiga hal. Pertama, soal legacy demokrasi seperti apa yang ingin diwariskan oleh Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya tahun 2024 mendatang. Kedua, polarisasi seperti apa dan dalam dimensi apa saja yang masih dapat dinilai wajar untuk ukuran Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi. Ketiga, skala polarisasi seperti apa yang nantinya dapat membahayakan keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.
“Dari sejumlah pernyataan Presiden Jokowi, saya kira hal yang paling potensial menimbulkan kontroversi dan multi interpretasi adalah soal transisi kepemimpinan nasional. Hal ini terkait dengan sosok pemimpinan nasional seperti apa yang nantinya dapat diandalkan untuk meneruskan legacy nya Pasca Pilpres 2024,” katanya.
Kontroversi dan multi interpretasi ini, menurutnya terkait dengan tiga hal yaitu, posisi, preferensi dan subyektifitas Presiden Jokowi. Semua paham Presiden Jokowi tidak hanya berperan sebagai Kepala Negara tetapi juga sebagai kepala Pemerintahan.
Presiden Jokowi tidak hanya sebagai kader PDIP yang sukses memenangkan dua kali Pilpres. Lebih dari itu, ia juga merupakan pimpinan koalisi dari (ketua umum) parpol-parpol yang pernah mengusungnya sebagai Capres dalam Pilpres 2019 lalu.
Dalam pandangan Nyarwi sebagai Kepala Negara, Presiden Jokowi dinilai wajar merasa memiliki kewajiban moral untuk memastikan agar transisi kepemimpinan nasional Pasca Pilpres 2024 mendatang dapat berjalan dengan mulus, tanpa riak-riak politik yang membahayakan. Namun, sebagai individu yang sedang menjabat sebagai Presiden dan juga sebagai politisi dari partai tertentu, dan sudah turut mendeklarasikan sosok Presiden, pernyataan Jokowi terkait dengan transisi kepemimpinan nasional tersebut diakui dapat memicu spekulasi banyak kalangan.
Spekulasi yang datang khususnya dari para pimpinan parpol dan tokoh-tokoh yang ingin memunculkan pasangan Capres-Cawapres, termasuk pasangan Capres-Cawapres alternatif di luar lingkaran Istana. Posisi, peran, preferensi dan subyektifitas Presiden Jokowi terkait dengan siapa saja yang layak untuk di-endorse sebagai pasangan Capres-Cawapres yang mampu meneruskan kepemimpinannya pasca Pilpres 2024 mendatang dapat menimbulkan skala pengaruh yang sangat luas.
Pengaruh tersebut tidak hanya pada ketua-ketua umum parpol dan tokoh-tokoh potensial yang selama ini sudah dideklarasikan sebagai Capres dan potensial dinominasikan jadi Cawapres semata. Lebih dari itu, skala pengaruh ini juga bisa menggerakkan barisan relawan yang selama ini menjadi pendukung setia Presiden Jokowi.
“Tidak hanya itu, pengaruh tersebut baik langsung ataupun tidak langsung, bahkan bisa berkembang ke lingkungan birokrasi, hingga ke lingkungan TNI/Polri. Skala pengaruh ini saya kira yang harus dikelola dengan arif oleh Presiden Jokowi dan para tokoh yang ada dalam lingkaran terdekatnya saat ini,” imbuh Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies ini.
RC: ugm.ac.id