arsip.bhantaran.com –Suara yang patut diperhitungkan sebagai penyokong peradaban adalah suara para perempuan. Di lain sisi, dengung yang mereka suarakan menjadi gema yang memantul dan terus mendesak. Salah satu aspirasi yang diungkapkan adalah hak atas kaum hawa. Keberanian akan menyuarakan hak-hak minor dipandang sebagai bara yang harus selalu dikobarkan. Perempuan-perempuan yang berani inilah yang kemudian dicatat dalam sejarah sebagai pelopor kebangkitan.
Kita mengenal R.A. Kartini yang menyuarakan hak-hak wanita pribumi atas pendidikan. Selainnya, ada Nyai Djuaesih yang memiliki andil penting dalam pelopor kebangkitan perempuan NU.
Nyai Djuaesih kelahiran Juni 1901 putri dari R.O. Abbas dan R. Omara S. Hidup dalam keluarga sederhana yang memiliki keberanian dan rasa percaya tinggi. Beliau tercatat dalam sejarah sebagai perempuan NU yang lantang menyuarakan hak-hak kaumnya di Muktamar ke 13 NU di Menes, 1938.
Pengalaman berorganisasinya ia dapat dari suaminya (Danuatmadja alias H. Bustomi) yang kerap kali mengajaknya dalam acara-acra resmi. Nyai Djuaesih memiliki keberanian lebih dibandingkan dengan perempuan sebayanya kala itu. Dengan lantang dan berapi-api ia menyuarakan suara hatinya tentang kesetaraan perempuan NU.
Dalam mengurai pendapatnya, Nyai Djuaesih tampil dengan retorika dan sorot mata yang tajam. Ia sama sekali tak menunjukkan keraguan atau gentar sedikitpun. Dalam persidangan khusus bagian wanita Muktamar ke-13 NU di Menes, Nyai Djuaesih mengobarkan semangat kaumnya dan menyadarkan bahwa perempuan Nahdliyin memiliki tanggung jawab yang sama dengan kaum laki-laki NU.
“Di dalam Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita pun wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kami wanita yang tergabung dalam NU mesti bangkit,” pidatonya di atas mimbar mantap.
Pidatonya mendapat perhatian penuh para audiens. Melalui pidato tersebut, ia dikenal sebagai sosok perempuan NU yang pertama kali berpidato di atas mimbar forum resmi organisasi. Isi pidato yang disampaikan terkait tanggung jawab yang sama dalam organisasi, antara laki-laki dan perempuan, menjadi rintisan pandangan dan cikal bakal lahirnya Muslimat NU.
Awalnya, Nyai Djuaesih mengusulkan agar perempuan turut andil dan aktif menjadi anggota NU. Hal itu sebagai pembelajaran sebelum perempuan NU mandiri dan memiliki organisasi sendiri. Meski menjadi sosok perintis Muslimat NU, Nyai Djuaesih tak begitu menonjol sebagai organisator dalam kepengurusan Muslimat. Dia lebih populer sebagai mubalighah dalam kepengurusan Muslimat NU Jawa Barat. Sehingga, saat kepengurusan awal Muslimat tahun 1946, Nyai Djuaesih belum masuk susunan pengurus pusat yang saat itu ketua Muslimat NU dijabat Nyai Saodah Natsir. Baru pada periode 1950-1952, Nyai Djuaesih tampil sebagai ketua.
Seperti umumnya masyarakat pribumi zaman Hindia Belanda, perempuan yang dikaruniai tiga orang putra dan dua putri ini tidak mengenyam pendidikan formal. Sejak kecil ia dalam didikan kedua orang tuanya sendiri, R.O. Abbas dan R. Omara S. Selebihnya ia belajar dari pengalaman dan pergaulan dengan lingkungan sosialnya. Ayahnya yang seorang ustadz banyak membekali Djuaesih dengan ilmu agama, sedangkan ibunya mendidik dan mengajari budi pekerti dan tata cara hidup berumah tangga.
Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan formal, Nyai Djuaesih menyadari betul pentingnya pendidikan bagi masa depan. Karenanya, begitu ada kesempatan ia pun menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan formal yang dibuka pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Tiga anaknya berhasil menamatkan pendidikan di MULO, sedangkan lainnya di HIS. Untuk ukuran zaman itu, apa yang dilakukan Djuaesih tergolong langka di tengah kehidupan pribumi yang serbasulit, tak hanya di bidang ekonomi dan politik tapi juga pendidikan.
Demikianlah sosok pelopor kebangkitan perempuan NU yang berkontribusi besar atas kesetaraan tanggung jawab dalam organisasi NU. Nyai Djuaesih tokoh pendakwah yang lugas dan penggerak emasipasi yang patut dicontoh perempuan NU zaman now.
Sumber:
NU Online dan diolah dari buku “50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara & Bangsa”, 1996 (Jakarta: PP Muslimat NU).
Penulis: Arif A’abadia